Mereka cuma bersitatap, tanpa kata-kata. Tapi itu lebih dari cukup, untuk menciptakan Rani berdiri keesokan harinya, dengan perasaan bersalah yang pekat. Ia tak pernah memimpikan lelaki manapun sebelumnya. Baik dalam masa-masa kuliah sampai menikah.
Hidup wanita beranak satu itu mengalir mulus. Lulus kuliah, menikah, dan tanpa menunggu terlalu lama, memperoleh momongan. Namun empat tahun terakhir ini, Rani dikejar mimpi-mimpi yang aneh. Mimpi yang sama dan berulang, pada sosok yang itu juga, dengan verbal yang tak pernah berubah.
Lelaki dengan wajah murung, menatapnya tanpa bicara. Laki-laki itu, ia mengenalnya. Dulu sekali. Ia mengenal sosok Cepy, saat mereka masih anak-anak. Rani masih kelas empat sekolah dasar, sementara Cepy dua tahun lebih tua. Keduanya bertemu pertama kali dalam program Jambore Nasional Pramuka.
Ketika itu seluruh penerima Jambore sedang sibuk memburu sebanyak-banyaknya data dan tanda tangan dari sesama peserta, saat sebuah celetuk keras ditujukan padanya, “Rani… Rani…”
Lalu gelak tawa lima anak lelaki berseragam penggalang terdengar. Rani menoleh, tapi cepat melengoskan wajah. Ia tak yakin mengenal gerombolan yang barusan menyebut namanya. Lagipula mungkin saja kan panggilan itu diarahkan ke Rani-Rani yang lain? Lebih dari seribu pramuka berkumpul di sini. Lumrah.
0 Comments