Kisah 47 Ronin karya John Allyn ialah fiksi sejarah yang ditulis berdasarkan insiden yang pernah terjadi di Negara Matahari Terbit. Sejarah mencatat, pada tahun 1703, empat puluh tujuh ronin yang dipimpin oleh Oishi Kuranosuke Yoshitaka menyerang rumah kediaman pejabat tinggi istana Kira Kozuke no Suke Yoshihisa guna membalas dendam kematian majikan mereka yang berjulukan Asano Takumi no Kami.
Ronin ialah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feodal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya ketika tuannya mati, atau akhir hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi mempunyai tuan tidak sanggup lagi disebut sebagai samurai, alasannya ialah samurai ialah "pelayan" bagi sang tuan. Dalam tradisi samurai, ronin mempunyai derajat dibawah samurai. Bagi seorang ronin hanya ada dua pilihan, yaitu menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam kemiliteran.
Ada banyak cerita pembalasan dendam ronin terhadap kematian tuannya, namun yang paling populer dan menjadi legenda nasional Jepang ialah ‘Kisah 47 Ronin’. Di Jepang sebelum Perang Dunia II, cerita ini umum dikenal sebagai Akogishi (Perwira Setia dari Ako) dan dijadikan contoh kesetiaan samurai terhadap majikannya. Seusai Perang Dunia II, cerita ini lebih dikenal sebagai Ako roshi (ronin dari Ako) atau Shijushichishi (47 samurai). Kisah ini kemudian ditulis kedalam sebuah novel oleh penulis Jepang Osaragi Jiro yang kemudian diangkat menjadi drama televisi. Selain itu cerita kepahlawan ini kerap dipentasakan di teater tradisional Jepang (Kabuki).
Di dunia barat cerita ini dikenal dengan sebutan Forty-seven Ronin atau Forty-Seven Samurai. Walau fakta sejarahnya jelas, namun keterangan rinci wacana insiden ini sangat kabur. Kisah ini mempunyai banyak sekali versi dan sudut pandang. Salah satunya versi John Allyn, yang mengangkat cerita 47 ronin kedalam sebuah novel yang cetakan pertamanya terbitkan pada tahun 1970.
Dalam novelnya John Allyn menulis cerita ini dengan sudut pandang Oishi sebagai tokoh sentralnya. Allyn memulai novelnya dengan mendeskripsikan situasi di Jepang di di awal kurun ke-18, dimana Istana Shogun marak dengan festival kemewahan, korupsi, serta pesa pora. Kesenian berkembang dengan pesat, kelas pedagang semakin berkuasa sehingga imbas prajurit dan samurai mulai berkurang. Saat itu diterapkan pula Undang-undang Pelestarian Hidup yang melarang mahluk hidup (termasuk binatang). Hal ini merugikan petani alasannya ialah tak seorangpun diperbolehkan membunuh hewan termasuk hewan hama. Hasil bumi menjadi merosot sehingga menciptakan Jepang di tepi jurang kehancuran ekonomi.
Dalam situasi menyerupai inilah Lord Asano, seorang daimyo dari Ako yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Shogun diundang ke Istana Shogun Tsuyanoshi untuk menghadiri upacara kenegaraan. Lord Asano ialah samurai sejati. Ia tak suka dengan kemewahan upacara istana, namun sebagai seorang daimyo yang setia terhadap Shogun Tsunayoshi ia tetap menghadirinya.
Kira, seorang pejabat istana betindak sebagai Pemimpin Upacara untuk semua program di istana. Ia dikenal sebagai pejabat yang korup dan memanfaatkan jabatannya untuk mengambil laba bagi siapa yang berafiliasi dengannya. Lord Asano membenci Kira, begitupun Kira menganggap Lord Asano ialah samurai sejati yang jujur dan dididik dengan cara usang sehingga menjadi bahaya bagi gaya hidupnya.
Ketika upacara berlangsung Kira menghina Lord Asano. Tersinggung dengan ucapan Kira, Asano menyerang Kira hingga terluka. Akibatnya Asano ditangkap dan dipaksa melaksanakan seppukku, mati dengan merobek perut sendiri dan diakhiri dengan kepala yang terpancung. Setelah itu kastil dan wilayah kekuasaan Asano di Ako harus diserahkan pada Shogun. Para pengikut Lord Asano yang dipimpin oleh Oishi tak mendapatkan kematian yang menimpa pemimpinnya. Otomatis mereka menjadi Ronin dan segera berkumpul untuk membalas dendam. Saat itu terkumpul sekitar 300 ronin.
Ronin ialah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feodal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya ketika tuannya mati, atau akhir hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi mempunyai tuan tidak sanggup lagi disebut sebagai samurai, alasannya ialah samurai ialah "pelayan" bagi sang tuan. Dalam tradisi samurai, ronin mempunyai derajat dibawah samurai. Bagi seorang ronin hanya ada dua pilihan, yaitu menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam kemiliteran.
Ada banyak cerita pembalasan dendam ronin terhadap kematian tuannya, namun yang paling populer dan menjadi legenda nasional Jepang ialah ‘Kisah 47 Ronin’. Di Jepang sebelum Perang Dunia II, cerita ini umum dikenal sebagai Akogishi (Perwira Setia dari Ako) dan dijadikan contoh kesetiaan samurai terhadap majikannya. Seusai Perang Dunia II, cerita ini lebih dikenal sebagai Ako roshi (ronin dari Ako) atau Shijushichishi (47 samurai). Kisah ini kemudian ditulis kedalam sebuah novel oleh penulis Jepang Osaragi Jiro yang kemudian diangkat menjadi drama televisi. Selain itu cerita kepahlawan ini kerap dipentasakan di teater tradisional Jepang (Kabuki).
Di dunia barat cerita ini dikenal dengan sebutan Forty-seven Ronin atau Forty-Seven Samurai. Walau fakta sejarahnya jelas, namun keterangan rinci wacana insiden ini sangat kabur. Kisah ini mempunyai banyak sekali versi dan sudut pandang. Salah satunya versi John Allyn, yang mengangkat cerita 47 ronin kedalam sebuah novel yang cetakan pertamanya terbitkan pada tahun 1970.
Dalam novelnya John Allyn menulis cerita ini dengan sudut pandang Oishi sebagai tokoh sentralnya. Allyn memulai novelnya dengan mendeskripsikan situasi di Jepang di di awal kurun ke-18, dimana Istana Shogun marak dengan festival kemewahan, korupsi, serta pesa pora. Kesenian berkembang dengan pesat, kelas pedagang semakin berkuasa sehingga imbas prajurit dan samurai mulai berkurang. Saat itu diterapkan pula Undang-undang Pelestarian Hidup yang melarang mahluk hidup (termasuk binatang). Hal ini merugikan petani alasannya ialah tak seorangpun diperbolehkan membunuh hewan termasuk hewan hama. Hasil bumi menjadi merosot sehingga menciptakan Jepang di tepi jurang kehancuran ekonomi.
Dalam situasi menyerupai inilah Lord Asano, seorang daimyo dari Ako yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Shogun diundang ke Istana Shogun Tsuyanoshi untuk menghadiri upacara kenegaraan. Lord Asano ialah samurai sejati. Ia tak suka dengan kemewahan upacara istana, namun sebagai seorang daimyo yang setia terhadap Shogun Tsunayoshi ia tetap menghadirinya.
Kira, seorang pejabat istana betindak sebagai Pemimpin Upacara untuk semua program di istana. Ia dikenal sebagai pejabat yang korup dan memanfaatkan jabatannya untuk mengambil laba bagi siapa yang berafiliasi dengannya. Lord Asano membenci Kira, begitupun Kira menganggap Lord Asano ialah samurai sejati yang jujur dan dididik dengan cara usang sehingga menjadi bahaya bagi gaya hidupnya.
Ketika upacara berlangsung Kira menghina Lord Asano. Tersinggung dengan ucapan Kira, Asano menyerang Kira hingga terluka. Akibatnya Asano ditangkap dan dipaksa melaksanakan seppukku, mati dengan merobek perut sendiri dan diakhiri dengan kepala yang terpancung. Setelah itu kastil dan wilayah kekuasaan Asano di Ako harus diserahkan pada Shogun. Para pengikut Lord Asano yang dipimpin oleh Oishi tak mendapatkan kematian yang menimpa pemimpinnya. Otomatis mereka menjadi Ronin dan segera berkumpul untuk membalas dendam. Saat itu terkumpul sekitar 300 ronin.
Namun Oishi tidak larut dalam emosi dan gegabah mengambil tindakan, dan lagi undang-undang melarang perbuatan balas dendam. Ketika teman-temannya menentukan untuk mempertahankan kuil Asano dan segera membalas dendam kematian pemimpinnya, dengan kepala hirau taacuh Oishi menentukan untuk patuh pada Undang-undang. Membiarkan kuil diambil alih secara tenang sambil mengajukan petisi kepada Shogun untuk menuntut keadilan.
Waktu berlalu tanpa ada kejelasan atas petisi tersebut. Para Ronin hidup secara terpisah dan menjalani aktifitasnya masing-masing. Oishi sendiri hidup bersama seorang geisha dan selalu berada dalam intaian intel Kira. Dua tahun berlalu semenjak kematian Lord Asino, dikala pembalasan dendam para Ronin untuk membela kehormatan pemimpinnya kesudahannya tiba. Setelah melalui ujian waktu dan kesabaran , Oishi berhasil mengumpulkan kawan-kawannya, namun jumlah ronin yang mempunyai tekad untuk membalas dendam kematian Asano semakin menyusut hingga kesudahannya hanya 47 Ronin yang tersisa dan bersumpah uintuk melaksanakan balas dendam yang kelak akan dikenal sebagai insiden balas dendam paling berdarah dalam sejarah kekaisaran Jepang.
Novel ini ditulis dengan menarik, sedari awal pembaca akan dibawa pada satu pertanyaan besar, berhasilkan ke 47 ronin membunuh Kira yang mengakibatkan kematian pemimpinnya ?. Bagi mereka yang mengetahui sejarah Jepang tentu saja ini bukan pertanyaan alasannya ialah sejarah telah mencatat bagaimana simpulan dari insiden berdarah ini. Namun cerita ini tetap menarik alasannya ialah menyerupai diungkap diatas banyak sekali versi dari cerita ini, dan pembaca yang ‘melek’ sejarah tetap akan dibentuk ingin tau bagaimana cerita ini berdasarkan versi John Allyn. Sehingga bagi siapapun novel ini tetap menarik dan menggiring pembacanya untuk segera hingga pada halaman terakhir.
Sayang profil John Allyn, tak terdapat dalam buku ini. Siapa John Allyn dan darimana ia memperoleh sumber-sumber untuk menulis novelnya ini ? Jika memang dalam buku yang menjadi sumber terjemahan novel ini tak ada keterangan apapun wacana penulisnya, tentunya penerbit sanggup mencarinya dari sumber-sumber lain.
Selain itu yang agak disayangkan, buku ini tak menyertakan peta dimana insiden ini berlangsung. Padahal dengan adanya sebuah peta, pembaca akan lebih memahami isi novel ini terutama dari segi geografisnya. Misalnya pembaca akan lebih mengetahui dimana Ako daerah Oishi dan Lord Asano berasal, berapa jauh letaknya dari Edo. dll.
Terlepas dari kekurangan di atas, novel ini sangat layak dibaca oleh siapapun yang ingin mengetahui sepenggal sejarah Jepang. Walau tema utama novel ini ialah balas dendam, bukan berarti novel yang kental dengan aroma sejarah ini sarat dengan kekerasan. Tebasan tajamnya pedang samurai/ronin hanya akan ditemui di awal dan simpulan novel ini.
Diantara bab itu pembaca akan disuguhi aneka insiden yang memperkaya pembacanya baik dari sejarah, kultur kekaisaran jepang di awal kurun ke 18, semangat kesatriaan para samurai / ronin dalam menegakkan kehormatan, kesetian dalam pengabdian, kesabaran dan taktik dalam menghadapi musuh, dll. Semua itu mewarnai novel ini sehingga tak heran Prof. Dr. I. Ketut Surajaya dalam endorsmentnya menyampaikan bahwa buku ini akan memperlihatkan pesan moral yang baik bagi pembacanya wacana kesabaran, kesetiaan, dan pengorbanan yang ditegakkan melalui fatwa Bushindo.
Di tengah serbuan novel-novel terjemahan berlatar negara-negara barat, sepertinya kehadiran novel-novel dengan setting Asia atau Jepang akan membawa angin segar dan pilihan yang lebih bermacam-macam bagi para pembaca buku tanah air. Dan jangan lupa menyerupai karakteristik novel-novel berlatar sejarah Jepang lainnya (Musashi, Klan Otori, dll), novel ini mengandung muatan filosofis yang tinggi. Hal yang perlu dibaca dan dicerna oleh pembaca buku di indonesia.
Waktu berlalu tanpa ada kejelasan atas petisi tersebut. Para Ronin hidup secara terpisah dan menjalani aktifitasnya masing-masing. Oishi sendiri hidup bersama seorang geisha dan selalu berada dalam intaian intel Kira. Dua tahun berlalu semenjak kematian Lord Asino, dikala pembalasan dendam para Ronin untuk membela kehormatan pemimpinnya kesudahannya tiba. Setelah melalui ujian waktu dan kesabaran , Oishi berhasil mengumpulkan kawan-kawannya, namun jumlah ronin yang mempunyai tekad untuk membalas dendam kematian Asano semakin menyusut hingga kesudahannya hanya 47 Ronin yang tersisa dan bersumpah uintuk melaksanakan balas dendam yang kelak akan dikenal sebagai insiden balas dendam paling berdarah dalam sejarah kekaisaran Jepang.
Novel ini ditulis dengan menarik, sedari awal pembaca akan dibawa pada satu pertanyaan besar, berhasilkan ke 47 ronin membunuh Kira yang mengakibatkan kematian pemimpinnya ?. Bagi mereka yang mengetahui sejarah Jepang tentu saja ini bukan pertanyaan alasannya ialah sejarah telah mencatat bagaimana simpulan dari insiden berdarah ini. Namun cerita ini tetap menarik alasannya ialah menyerupai diungkap diatas banyak sekali versi dari cerita ini, dan pembaca yang ‘melek’ sejarah tetap akan dibentuk ingin tau bagaimana cerita ini berdasarkan versi John Allyn. Sehingga bagi siapapun novel ini tetap menarik dan menggiring pembacanya untuk segera hingga pada halaman terakhir.
Sayang profil John Allyn, tak terdapat dalam buku ini. Siapa John Allyn dan darimana ia memperoleh sumber-sumber untuk menulis novelnya ini ? Jika memang dalam buku yang menjadi sumber terjemahan novel ini tak ada keterangan apapun wacana penulisnya, tentunya penerbit sanggup mencarinya dari sumber-sumber lain.
Selain itu yang agak disayangkan, buku ini tak menyertakan peta dimana insiden ini berlangsung. Padahal dengan adanya sebuah peta, pembaca akan lebih memahami isi novel ini terutama dari segi geografisnya. Misalnya pembaca akan lebih mengetahui dimana Ako daerah Oishi dan Lord Asano berasal, berapa jauh letaknya dari Edo. dll.
Terlepas dari kekurangan di atas, novel ini sangat layak dibaca oleh siapapun yang ingin mengetahui sepenggal sejarah Jepang. Walau tema utama novel ini ialah balas dendam, bukan berarti novel yang kental dengan aroma sejarah ini sarat dengan kekerasan. Tebasan tajamnya pedang samurai/ronin hanya akan ditemui di awal dan simpulan novel ini.
Diantara bab itu pembaca akan disuguhi aneka insiden yang memperkaya pembacanya baik dari sejarah, kultur kekaisaran jepang di awal kurun ke 18, semangat kesatriaan para samurai / ronin dalam menegakkan kehormatan, kesetian dalam pengabdian, kesabaran dan taktik dalam menghadapi musuh, dll. Semua itu mewarnai novel ini sehingga tak heran Prof. Dr. I. Ketut Surajaya dalam endorsmentnya menyampaikan bahwa buku ini akan memperlihatkan pesan moral yang baik bagi pembacanya wacana kesabaran, kesetiaan, dan pengorbanan yang ditegakkan melalui fatwa Bushindo.
Di tengah serbuan novel-novel terjemahan berlatar negara-negara barat, sepertinya kehadiran novel-novel dengan setting Asia atau Jepang akan membawa angin segar dan pilihan yang lebih bermacam-macam bagi para pembaca buku tanah air. Dan jangan lupa menyerupai karakteristik novel-novel berlatar sejarah Jepang lainnya (Musashi, Klan Otori, dll), novel ini mengandung muatan filosofis yang tinggi. Hal yang perlu dibaca dan dicerna oleh pembaca buku di indonesia.
0 Comments