Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.
***
Demikian tulis Kiai Mbeling-“julukan” budayawan Emha Ainun Nadjib dalam “surat”-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sudah hingga di manakah langkah kita dalam meneladani peran Nabi Suci SAW.?
Surat kepada Kanjeng Nabi ini lahir dari “kreativitas” Cak Nun yang lain, yang rajin menulis di pelbagai koran dan majalah apa pun. Hampir semua goresan pena yang tampil di sini berasal dari koran-koran lokal yang wilayah peredaran nasionalnya tentu tak seberapa jauh apabila dibandingkan dengan contohnya wilayah peredaran Kompas atau Republika. Bahkan, beberapa koran kemungkinan besar tak sanggup men- jangkau wilayah yang lebih luas dari seputar wilayah provinsinya.
Dengan begitu sanggup dipastikan bahwa tulisan-tulisan Cak Nun yang terkumpul dalam buku ini belum banyak dibaca oleh masyarakat Jakarta, Bandung, Surabaya misalnya. Lebih-lebih lagi kota-kota besar di luar Pulau Jawa. Tulisan Cak Nun terbanyak diambil dari koran- koran lokal yang beredar di Yogyakarta Yogya Post, Bernas, Masa Kini (sekarang sudah tidak ada), dan Minggu Pagi. Kemudian gres korannya Jawa Tengah Suara Merdeka dan Wawasan. Selanjutnya, goresan pena lainnya diambil dari koran yang beredar di Surabaya (Surabaya Post, Surya, dan Jawa Pos), di Jakarta (koran Suara Karya, Pelita, Berita Buana, Suara Pembaruan, dan majalah Gatra, Amanah, serta Editor), dan di Bandung (tabloid Salam).
“Surat kepada Kanjeng Nabi” sendiri merupakan goresan pena lepas Cak Nun di Surabaya Post untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad Saw. pada tahun 1992. Dalam goresan pena tersebut Cak Nun menyampai- kan “kondisi” umat sekaligus mengungkapkan rasa cinta dan kekagumannya kepada Junjungannya itu.
Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak sanggup dibendung oleh apa pun. Dan kalau seandainya cinta kami ini sungguhsungguh, betapa tak sanggup dibandingkan, alasannya yaitu hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi, sepertinya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang sanggup kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidahkasidah. Dalam seharihari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada halhal yang lain.
....................
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, banyakan dari kami melakukannya alasannya yaitu kewajiban, tidak alasannya yaitu kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluapluap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan eksklusif kami masingmasing.
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sahabatmu, Muhammad. Kami mentaimu, namun kami belum benarbenar mengikutimu. Kami masih takut dan terusmenerus bergantung pada kekuasaan kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut kepada atasan. Kami menunduk kepada bendabenda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal yang picisan.
Berlandaskan isi “surat” tersebutlah, karenanya goresan pena Cak Nun ini digunakan sebagai “ancangan”. Maksudnya, kurang lebih, yaitu suatu “pengambilan langkah awal untuk mencapai tujuan” atau “cara khusus dalam mengambil langkah awal untuk mencapai tujuan”.
Apa “cara khusus” dan “tujuan” yang hendak dicapai? Tak gampang menjabarkannya. Tetapi yang jelas, bila tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini ada yang sanggup menggulirkan pikiran pembaca untuk terus menggelinding dan tidak mandek, itu sudah cukup.
Detail Buku:
Judul: Surat Kepada Kanjeng NabiPenulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Mizan
ISBN: 978-979-433-888-9
Baca-Download: Google Drive
0 Comments